kesieuthipth.com – Indonesia, sebagai negara megabiodiversitas, menyimpan kekayaan flora dan fauna yang luar biasa. Salah satu permata alam yang paling langka adalah Elang Flores (Nisaetus floris), burung pemangsa endemik wilayah Nusa Tenggara yang kini berada di ambang kepunahan. Dengan status “Kritis Terancam Punah” (Critically Endangered) menurut Daftar Merah IUCN (International Union for Conservation of Nature), elang ini menjadi salah satu dari 10 spesies raptor paling terancam di dunia. Di tengah tantangan habitat yang menyusut dan ancaman manusia, upaya konservasi terus digalakkan untuk menyelamatkan spesies ikonik ini.
Ciri-Ciri Fisik Elang Flores
Elang Flores termasuk dalam famili Accipitridae dan genus Nisaetus, yang sebelumnya dianggap sebagai subspesies dari Elang Brontok (Nisaetus cirrhatus). Namun, penelitian morfologis tahun 2004 menunjukkan perbedaan signifikan, sehingga diakui sebagai spesies terpisah.
Burung ini memiliki ukuran tubuh yang mengesankan, dengan panjang 71-82 cm dan rentang sayap mencapai 140-160 cm. Beratnya diperkirakan sekitar 2 kg. Warna bulunya khas: bagian atas tubuh berwarna coklat kehitaman, sementara kepala, leher, dada, dan perut berwarna putih dengan corak tipis kemerahan atau coklat halus di mahkota kepala. Ekornya gelap dengan enam garis coklat yang menjadi ciri khas, dan saat terbang, terlihat bercak putih di sayap dengan ujung gelap. Berbeda dengan elang lain, Elang Flores tidak memiliki jambul di kepala, membuatnya tampak lebih “bersih” dan elegan.
Sebagai burung pemangsa, Elang Flores memiliki paruh bengkok yang tajam, cakar kuat, dan penglihatan akut untuk berburu dari ketinggian rendah. Ia tidak bermigrasi seperti raptor tropis lainnya, tetapi dapat menyebar luas setelah anak-anaknya mandiri.
Habitat dan Distribusi
Elang Flores endemik Indonesia Timur, dengan persebaran terbatas di Pulau Lombok, Sumbawa, Rinca (dekat Komodo), Satonda (dekat Sumbawa), Flores, dan bahkan hingga Alor serta Timor. Habitat utamanya adalah hutan primer dan sekunder dataran rendah hingga submontana, termasuk lahan budidaya, pada ketinggian hingga 1.600-1.700 mdpl. Ia lebih menyukai hutan tropis lembab di mana ia bisa menerkam mangsa dari jarak rendah, bukan dari ketinggian ekstrem.
Di Flores, elang ini sering terlihat di Taman Nasional Kelimutu dan Hutan Mbeliling, di mana monitoring mencatat 13 individu di kawasan inti dan penyangga. Namun, luas habitat tersisa kini hanya sekitar 36,1 hektare, terancam oleh degradasi lingkungan.
Perilaku dan Pola Makan
Sebagai raptor, Elang Flores adalah pemburu ulung yang memangsa mamalia kecil (seperti tikus), burung lain, biawak, dan kadang ayam peliharaan yang berkeliaran bebas. Teknik berburunya adalah “dive-bombing” dari posisi rendah, sesuai dengan habitat hutan datar.
Musim kawin diperkirakan terjadi pada Maret-Mei dan Agustus, bertepatan dengan musim kemarau, dengan ritual pamer (display) pada Juni-Juli di Flores. Sarang dibangun di pohon besar, dan periode inkubasi serta pemeliharaan anak masih terbatas informasi, meskipun ada catatan sarang aktif di Desa Kaowa, Bima, NTB.
Bagi masyarakat suku Manggarai di Flores Barat, elang ini bukan sekadar burung, melainkan “toem” atau “empo”—leluhur manusia yang sakral dan dilarang dibunuh atau ditangkap. Mereka menyebutnya “Ntangis”, berbeda dengan nama lokal lain seperti “Jumburiang” untuk elang Bonelli’s.
Ancaman dan Status Konservasi
Populasi Elang Flores kini diperkirakan hanya 100-240 individu dewasa, atau sekitar 100 pasang, menjadikannya salah satu raptor paling rentan di Indonesia—dari 71 spesies raptor, hanya dua yang endangered, termasuk ini. Ancaman utama meliputi deforestasi (60% hutan rusak), kebakaran, perburuan, dan konflik dengan manusia karena mangsa ternak. Di Taman Nasional Kelimutu, populasi lokal bahkan tinggal 10 ekor pada 2019.
Di Indonesia, elang ini dilindungi oleh Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/2018, serta masuk dalam prioritas 25 satwa terancam punah untuk peningkatan populasi 10% hingga 2019. Secara internasional, CITES Appendix I melarang perdagangannya.
Upaya Pelestarian
Pemerintah dan LSM seperti Burung Indonesia, Raptor Indonesia (Rain), dan Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI) telah menyusun Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) sejak 2018, melibatkan taman nasional seperti Gunung Rinjani, Tambora, Kelimutu, dan Komodo. Monitoring sarang, restorasi habitat, dan edukasi masyarakat menjadi fokus utama. Di NTB dan NTT, kolaborasi dengan BKSDA terus berlanjut, termasuk workshop pada 2019.
Ke depan, peningkatan kesadaran lokal—seperti menghormati nilai sakral elang bagi suku Manggarai—dapat menjadi kunci. Dengan dukungan global, diharapkan populasi ini bisa pulih.
Elang Flores bukan hanya simbol keanekaragaman hayati Indonesia, tapi juga pengingat akan urgensi pelestarian. Di tengah pesona Nusa Tenggara yang memesona, burung ini mengajak kita untuk bertindak: lindungi hutan, kurangi perburuan, dan dukung konservasi. Jika tidak, kepak senyap elang ini mungkin hilang selamanya. Mari bersama jaga warisan alam kita—sebelum terlambat.